Perihal ikhlas, sudah terjadi berkali-kali. Tentang kehilangan, juga melepaskan terang-terangan.


Perihal melepaskan, bukan hanya dia juga yang ikhlas kulepas, tapi juga hati yang sudah terlanjur terpatri namanya.


Paling menyedihkan itu bukan tentang melepaskan, tapi dipaksa tebar senyuman saat ia dipelukan orang.


Dan yang paling melukai bukan perihal ia pergi, tetapi menjadi saksi ia mengikrarkan janji suci.


Sedang aku? Sibuk menopang dagu, pelan-pelan membayangkan andai aku di posisi itu—Halu. 


Sembari menundukkan pandang dan berusaha mati-matian menahan air mata yang enggan berhenti mengucurkan aliran.

 

Dengan tatapan kosong, pastinya. Sebab, apa-apa yang sebelumnya terang telah hilang dalam rajut sudut pandang.


Ketika Sah berkumandang dan Aamiin telah dilantunkan, "Selamat atas pernikahan." Senyum berusaha diterbitkan. Lantas, "Semangat menerima kenyataan," hati berzikir perlahan.


Bismillah, saut mulut. Sedang hati masih tersisih, mencari di sisi kiri—Bekas tangan halus kala pundak direngkuh dulu. Iya, bekas jemarimu.


Lantas mencium tangan yang pernah kaugenggam, ternyata masih sama, beraroma kenangan yang telah menjadi genangan kepedihan.


Berbicara perihal itu, tiada pilu yang tergenang penuh sayang, selain kisah usang milik kita. Rambu-rambu sempat berpadu, "Hijau," katanya. Sedang lain waktu, tiba-tiba merah selamanya.


Aku dan kamu bukan hanya terpisah tabir, tetapi juga takdir.


Lambat laun, ikhlas adalah jalan keluar paling luas. Biar dibalik itu, kabar seputar pudar masih asing untuk didengar.


Mungkin, bukan ikhlas, tetapi faktor terbiasa yang menjalar. Hingga lupa tentang rasa ketika kita berkelakar. 


Tak apa, anggap kisah yang sempat tersemat, tiba waktunya untuk tamat. 



Ruang Candu, 12 Juni 2021